Powered by RND
PodcastsNoticiasSuarAkademia

SuarAkademia

The Conversation
SuarAkademia
Último episodio

Episodios disponibles

5 de 100
  • Benarkah “dating apps” mempengaruhi kecakapan sosial kaum muda sekarang?
    Penggunaan aplikasi kencan (dating apps) telah menjadi bagian dari keseharian banyak kaum muda dalam satu dekade terakhir. Dengan hanya beberapa kali swipe, pengguna bisa menemukan pasangan potensial, memulai obrolan, bahkan membangun hubungan emosional tanpa pernah bertemu secara langsung. Meski tak lagi baru, dampak fenomena ini terhadap cara generasi muda menjalin koneksi dan membentuk identitas sosial masih hangat dibicarakan. Hubungan manusia pada dasarnya dibentuk oleh interaksi yang kompleks, melibatkan bahasa tubuh, nada suara, dan kehadiran emosional yang sering kali tidak sepenuhnya tergantikan oleh komunikasi daring. Namun, platform digital menawarkan alternatif yang praktis dan instan, meski dengan konsekuensi tersembunyi. Di tengah kehidupan masyarakat yang semakin terdigitalisasi, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana pengaruh aplikasi kencan terhadap keterampilan sosial kaum muda? Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas topik ini dengan Fakhirah Inayaturobbani, dosen jurusan Psikologi dari Universitas Gadjah Mada. Bagi Fakhirah, aplikasi kencan bisa menjadi dua hal: jembatan yang mempertemukan dua orang dari sudut dunia yang berbeda, atau justru jurang yang memperlebar kesenjangan dalam membangun relasi sosial yang sehat. Ia percaya bahwa di tengah masifnya kehadiran ruang digital, kaum muda tetap perlu mengasah keterampilan sosial mereka lewat pengalaman langsung dan merasakan kehadiran satu sama lain secara nyata. Dunia digital boleh dimanfaatkan, tapi secara bijak dan penuh kesadaran. Fakhirah mengakui bahwa aplikasi kencan memang menawarkan kenyamanan yang luar biasa. Bagi banyak orang, dating apps menjadi ruang aman untuk menampilkan versi terbaik dari diri mereka sehingga banyak orang merasa lebih percaya diri, lebih terkontrol, dan kadang lebih menarik. Anonimitas serta kemampuan memilih bagaimana ingin terlihat menjadi daya tarik tersendiri. Tapi di balik itu semua, Fakhirah mengingatkan bahwa batas antara kenyataan dan imajinasi bisa menjadi kabur. Salah satu hal yang paling ia cemaskan adalah bagaimana aplikasi-aplikasi ini cenderung mendorong komunikasi instan dan serba cepat. Bagi sebagian besar kaum muda, mengekspresikan diri lewat teks atau foto terasa jauh lebih mudah ketimbang harus berhadapan langsung dan menanggapi secara spontan. Akibatnya, ketika mereka dihadapkan pada situasi sosial yang nyata seperti berinteraksi di depan orang lain, membaca ekspresi wajah, atau merespons emosi, mereka bisa merasa kikuk bahkan kewalahan. Dalam jangka panjang, ini bisa menghambat kemampuan membangun hubungan yang otentik dan penuh makna. Fakhirah juga menyoroti bagaimana algoritma di balik aplikasi kencan menciptakan ilusi akan kontrol dan kepastian. Segalanya tampak bisa dipilih dan diatur: dari preferensi fisik hingga lokasi. Padahal, dalam kehidupan nyata, relasi manusia jauh lebih kompleks. Ia menambahkan, komunikasi digital punya harga tersendiri secara emosional. Jeda waktu, kebingungan akan maksud pesan, hingga tidak tahu seperti apa sebenarnya orang yang diajak bicara, bisa membuat seseorang merasa lelah dan tidak aman. Karena itu, penting bagi setiap individu—terutama kaum muda—untuk menyadari bahwa komunikasi virtual dan komunikasi nyata adalah dua hal berbeda, meski tujuannya adalah membangun koneksi. Meski begitu, Fakhirah tidak setuju jika kaum muda yang menggunakan aplikasi kencan langsung dicap tidak punya keterampilan sosial. Menurutnya, alasan seseorang menggunakan aplikasi sangat beragam. Ada yang tulus mencari teman hidup, ada pula yang sekadar ingin ngobrol ringan untuk mengisi waktu. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
    --------  
    52:32
  • Hari buruh internasional: kesejahteraan buruh perempuan masih jauh dari kata layak
    Setiap peringatan Hari Buruh Internasional, sorotan terhadap kontribusi pekerja dalam pembangunan sosial-ekonomi menguat, tak terkecuali di Indonesia. Namun, di balik tuntutan kenaikan upah dan perbaikan hak kerja, terselip kisah pilu pekerja perempuan yang masih berjuang melawan ketimpangan struktural. Diskriminasi gender, beban kerja ganda, serta akses terbatas terhadap perlindungan sosial dan kesehatan kerja menjadikan posisi mereka semakin rentan dalam dunia kerja. Dalam sektor manufaktur, garmen, hingga pekerjaan domestik, perempuan sering kali terjebak dalam lingkaran upah rendah, kontrak kerja tidak tetap, dan kerentanan terhadap pelecehan. Realitas ini menunjukkan bahwa keadilan sosial dan kesetaraan gender seharusnya menjadi bagian penting dari agenda peringatan Hari Buruh, bukan sekadar fokus pada aspek ekonomi semata. Upaya mengatasi masalah ini diwujudkan melalui Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA), salah satunya dengan mengusung kebijakan cuti melahirkan enam bulan. Namun, kritik mengemuka dari berbagai pihak. Pelaku bisnis mengkhawatirkan beban biaya tambahan, sementara pegiat gender menilai aturan ini berisiko meminggirkan perempuan dari lapangan kerja jika tak diimbangi jaminan perlindungan. Lalu bagaimana kebijakan dan praktik ketenagakerjaan saat ini dapat diubah agar tidak hanya melindungi buruh perempuan? Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berbincang dengan Abby Gina Boang Manalu, direktur eksekutif dari Jurnal Perempuan dan juga dosen jurusan Filsafat Universitas Indonesia. Abby secara tegas menyoroti bagaimana sistem kerja yang ada masih sangat bias gender. Ini diwarisi dari struktur sosial patriarkal yang mengakar kuat. Menurutnya, selama perempuan terus dianggap sebagai pelengkap dalam sistem ekonomi, bukan sebagai pelaku utama, maka kesenjangan akan terus dibiarkan tumbuh. Abby menekankan bahwa perempuan menghadapi tekanan ganda sebagai pencari nafkah dan pengasuh keluarga, namun sistem kerja formal belum cukup adaptif dalam mengakomodasi realitas ini. Ia mendorong hadirnya kebijakan yang tidak hanya mengakui tetapi juga melindungi hak-hak perempuan secara substantif seperti cuti menstruasi, cuti paternitas untuk mendorong kesetaraan peran pengasuhan, serta mekanisme perlindungan dari kekerasan seksual di tempat kerja. Menurutnya, keberadaan lingkungan kerja yang aman dan adil bukan sekadar fasilitas tambahan, tetapi prasyarat utama bagi terwujudnya partisipasi perempuan yang bermakna dalam dunia kerja. Ia juga menekankan bahwa perubahan tidak akan datang dari atas saja. Perumusan kebijakan harus melibatkan suara perempuan pekerja, khususnya mereka yang berada di sektor informal dan akar rumput, agar kebijakan tidak bersifat elitis dan mengambang. Abby mengingatkan bahwa banyak intervensi kebijakan selama ini gagal karena hanya berdasarkan asumsi teknokratik, bukan pengalaman nyata perempuan di lapangan. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
    --------  
    32:59
  • Kemampuan menulis dan berhitung pelajar Indonesia mengkhawatirkan: Apa yang salah?
    Literasi dan numerasi bukan sekadar kemampuan dasar membaca dan berhitung. Keduanya adalah fondasi krusial bagi keberlanjutan proses belajar serta partisipasi aktif dalam kehidupan sosial. Literasi membuka pintu bagi pelajar untuk mencerna informasi, mengasah kemampuan analisis kritis, dan menciptakan sudut pandang inovatif. Sementara numerasi memampukan mereka menyelesaikan masalah berbasis angka, logika, hingga interpretasi data yang merupakan kompetensi vital di era dengan dinamika teknologi dan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini. Tanpa dua kemampuan tersebut, pelajar tidak hanya kesulitan memahami materi akademis, tetapi juga rentan gagap dalam mengenali hak-hak kewarganegaraan, beradaptasi dengan tuntutan karier, hingga merespons perubahan global. Belakangan, kemampuan literasi dan numerasi pelajar Indonesia kembali menjadi sorotan. Pemberitaan mengenai adanya beberapa siswa SMP di provinsi Bali yang tidak bisa membaca membuat publik heran dan bertanya-tanya mengenai kualitas pendidikan saat ini. Fakta ini semakin menguat ketika melihat hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2022. Tampak Indonesia masih tertinggal dari banyak negara ASEAN. Singapura memimpin peringkat dengan skor matematika (575), membaca (543), dan sains (561). Vietnam dan Brunei Darussalam pun mencatatkan performa lebih baik, sementara Indonesia berada di posisi bawah dengan skor matematika (366), membaca (359), dan sains (376). Sebenarnya, apa yang salah dari sistem pendidikan di Indonesia hingga melahirkan situasi seperti ini? Apa yang perlu kita benahi? Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berbincang dengan Andi Hasdiansyah, akademisi bidang pendidikan dari Universitas Muhammadiyah Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Andi mengatakan, isu kemampuan literasi dan numerasi pelajar di Indonesia ini bukanlah hal baru. Menurutnya, ini adalah kegagalan sistemis yang tidak pernah dibenahi secara serius dari tahun ke tahun. Hal ini tercermin dari model pendidikan yang hanya berfokus pada hafalan dan pengumpulan pengetahuan, bukan pada kemampuan interpretasi dan refleksi kritis yang esensial bagi perkembangan intelektual siswa. Andi juga menyoroti kurikulum pendidikan Indonesia yang seringnya dijadikan alat untuk mencapai kesuksesan administratif, sehingga mengesampingkan pengembangan kompetensi siswa secara mendasar. Paradigma melihat kurikulum seperti ini, menurut Andi, justru memberikan dampak buruk terhadap peserta didik dan menjauhkan mereka dari tujuan pendidikan itu sendiri. Andi menekankan bahwa masalah kemampuan literasi dan numerasi pelajar ini memerlukan reformasi menyeluruh. Ia menyuarakan perlunya kurikulum yang relevan dengan kebutuhan lokal, distribusi sumber daya yang lebih adil, dan juga perhatian khusus kepada seluruh sekolah dan tenaga pengajar di Indonesia. Ia menambahkan, 3 aspek ini perlu diperbaiki secara serius agar nantinya output dari sekolah bukan hanya sekedar nilai dan naik kelas, tapi juga kepemilikan kompetensi dasar untuk menjadi warga negara yang berkualitas. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
    --------  
    43:35
  • Disrupsi AI dalam industri kreatif: benarkah mengancam tenaga kerja muda?
    Kecerdasan buatan (AI) berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir dan mulai merambah ranah yang dulu tak terbayangkan, salah satunya industri kreatif. Teknologi seperti generative AI telah melahirkan berbagai platform yang mampu menghasilkan karya visual, tulisan, suara, hingga video secara otomatis. Contohnya, aplikasi Midjourney yang bisa membuat ilustrasi gambar hanya dari deskripsi teks atau ChatGPT yang mampu menulis naskah dengan berbagai gaya dan nada. Fitur terbaru ChatGPT bahkan kini memungkinkan pengguna menghasilkan gambar dalam berbagai gaya artistik, termasuk animasi khas Studio Ghibli dari Jepang, yang belakangan dikenal dengan fenomena “Ghiblifikasi”. Tak hanya itu, AI juga mulai digunakan untuk menyunting video secara otomatis, menyusun storyboard, hingga menciptakan musik tanpa keterlibatan musisi. Di satu sisi, teknologi ini membuka peluang eksplorasi kreatif yang sebelumnya terbatas oleh kemampuan teknis manusia. Namun di sisi lain, kemampuan AI dalam meniru gaya artistik dan struktur karya manusia memantik perdebatan serius: soal orisinalitas, etika, dan tempat manusia dalam proses kreatif. Lantas, apakah AI benar-benar menjadi ancaman serius bagi pekerja kreatif, terutama di Indonesia? Dalam episode terbaru SuarAkademia, kami membahas isu ini bersama Mirna Rahmadina Gumati, seorang peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Mirna tidak menampik bahwa perkembangan AI saat ini semakin mempermudah siapa pun untuk menghasilkan karya visual seperti penyuntingan foto, pembuatan video, hingga membuat animasi. Bahkan, menurutnya, perkembangan ini masih akan terus melaju lebih jauh lagi. Ia menggambarkan AI ibarat “pisau bermata dua”. Di satu sisi, kemajuan teknologi membantu para pekerja kreatif untuk melakukan riset dan eksperimen terhadap karya yang akan dibuat. Namun di sisi lain, masih rendahnya apresiasi publik terhadap seni bisa membuat pekerjaan kreatif dianggap semakin remeh—seolah semua karya bisa dihasilkan dengan cepat dan instan, apalagi setelah kehadiran AI. Pandangan ini berpotensi mengancam keberlangsungan profesi di industri kreatif. Mirna juga menyoroti pentingnya etika dalam penggunaan dan pengembangan AI, terutama di sektor kreatif. Belum adanya regulasi yang jelas dan minimnya pemahaman publik mengenai karya buatan AI menjadi masalah serius. Untuk itu, ujar Mirna, penguatan regulasi dan edukasi kepada masyarakat tentang penggunaan AI merupakan dua langkah mendesak yang harus dilakukan saat ini. Jika publik memahami bahwa karya kreatif bukan sekadar hasil akhir, melainkan buah dari pemikiran, eksperimen, dan emosi manusia, mereka akan menghargai karya-karya perkerja seni yang orisinil, meski AI semakin canggih. Selain itu, kata Mirna, pemerintah perlu merumuskan regulasi yang adil: bisa memberikan perlindungan bagi pekerja kreatif, tanpa menghambat inovasi teknologi. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
    --------  
    44:34
  • Indonesia di tiga bulan pertama tahun 2025: gemerlap atau tambah gelap?
    Tiga bulan pertama tahun 2025 menjadi periode penuh gejolak bagi Indonesia. Negeri menghadapi badai multidimensi, mulai dari kebijakan kontroversial pemerintah, gelombang demonstrasi, hingga tekanan ekonomi yang kian mencekik masyarakat. Salah satu kebijakan paling kontroversial adalah pemangkasan anggaran besar-besaran di sektor-sektor strategis seperti subsidi energi, pendidikan, dan layanan kesehatan. Meskipun pemerintah mengeklaim langkah ini sebagai upaya untuk mengatasi defisit anggaran, publik menilai bahwa kebijakan tersebut berpotensi memperburuk ketimpangan sosial. Sebab, pada saat yang sama, pendanaan untuk proyek infrastruktur berskala besar dan program modernisasi militer tetap dipertahankan. Ketegangan seketika mencuat ke permukaan. Di media sosial, tagar #IndonesiaGelap menyebar luas bukan hanya sebagai bentuk kritik atas kondisi demokrasi, tetapi juga sebagai ungkapan frustasi atas tekanan ekonomi yang makin berat. Daya beli menurun, kebutuhan pokok naik, dan banyak orang merasa semakin jauh dari rasa aman—baik secara ekonomi maupun politik. Kondisi makin memanas ketika muncul pembahasan revisi Undang-Undang TNI, yang membuka peluang bagi militer untuk terlibat lebih dalam dalam urusan sipil. Usulan ini ditanggapi dengan penolakan keras dari banyak kalangan. Koalisi mahasiswa, aktivis HAM, dan organisasi masyarakat sipil turun ke jalan, menyuarakan kekhawatiran bahwa ruang demokrasi makin tergerus. Ketidakpastian ini pun menjalar ke sektor keuangan. Sejak kabinet baru mulai bekerja Oktober lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat anjlok hingga 23%—penurunan paling tajam sejak krisis pandemi 2020. Investor asing memilih menarik dananya, khawatir dengan arah kebijakan pemerintah dan lambannya penanganan situasi yang berkembang cepat. Lalu, bagaimana pendapat tim The Conversation Indonesia melihat situasi yang terjadi di Indonesia selama 3 bulan pertama tahun ini? Dalam episode terbaru SuarAkademia, Podcast Producer The Conversation Indonesia, Muammar Syarif, berbincang dengan tiga anggota tim redaksi: Anggi Lubis (Acting Chief Editor), Robby Irfany Maqoma (Acting Managing Editor), dan Andi Ibnu Masri Rusli (Editor Ekonomi). Anggi menyoroti bahwa dalam situasi transisi seperti tiga bulan ke belakang, kebijakan yang diterapkan tanpa kesiapan sosial dan komunikasi publik yang memadai berpotensi menimbulkan resistensi. Beberapa kebijakan yang diluncurkan pada awal tahun ini, menurutnya, justru memicu ketidakpuasan publik karena dianggap terburu-buru dan tidak inklusif dalam proses perumusannya. Ditambah lagi, kebijakan efisiensi anggaran yang diambil oleh pemerintah pusat menuai kritik, terutama karena dilakukan secara menyeluruh tanpa memperhatikan konteks sektor yang terdampak. Ia menilai bahwa efisiensi yang tidak disertai strategi mitigasi yang memadai dapat berujung pada gangguan terhadap stabilitas nasional Robby menambahkan dunia pendidikan tinggi juga tidak lepas dari sorotan. Adanya pemangkasan anggaran pendidikan tinggi dikhawatirkan berdampak langsung pada kesejahteraan dosen dan komunitas akademik secara luas yang berujung melemahkan iklim riset dan kualitas pendidikan yang selama ini menjadi pilar pembangunan pengetahuan di Indonesia. Robby juga menyoroti bagaimana cara pemerintah dalam merespons isu atau kritik yang disampaikan oleh masyarakat. Menurutnya, jawaban dari pemerintah terkait beberapa isu justru membuat publik makin geram dan tidak mendinginkan situasi. Sedangkan Andi melihat penurunan tajam di pasar saham harus menjadi perhatian yang serius. Situasi ini mencerminkan menurunnya kepercayaan investor dan mengindikasikan ketidakpastian ekonomi yang perlu direspons secara serius oleh pemerintah. Ia menambahkan kestabilan politik dan kejelasan arah kebijakan sangat menentukan iklim investasi ke depan. Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia— ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
    --------  
    44:59

Más podcasts de Noticias

Acerca de SuarAkademia

Suar Akademia adalah podcast ngobrol seru yang menghadirkan akademisi dan peneliti untuk menjelaskan dan mengomentari isu terkini, dipandu oleh para editor The Conversation Indonesia (TCID).
Sitio web del podcast

Escucha SuarAkademia, Tercera Vuelta y muchos más podcasts de todo el mundo con la aplicación de radio.net

Descarga la app gratuita: radio.net

  • Añadir radios y podcasts a favoritos
  • Transmisión por Wi-Fi y Bluetooth
  • Carplay & Android Auto compatible
  • Muchas otras funciones de la app

SuarAkademia: Podcasts del grupo

Aplicaciones
Redes sociales
v7.17.1 | © 2007-2025 radio.de GmbH
Generated: 5/10/2025 - 2:04:10 PM