Benarkah “dating apps” mempengaruhi kecakapan sosial kaum muda sekarang?
Penggunaan aplikasi kencan (dating apps) telah menjadi bagian dari keseharian banyak kaum muda dalam satu dekade terakhir. Dengan hanya beberapa kali swipe, pengguna bisa menemukan pasangan potensial, memulai obrolan, bahkan membangun hubungan emosional tanpa pernah bertemu secara langsung.
Meski tak lagi baru, dampak fenomena ini terhadap cara generasi muda menjalin koneksi dan membentuk identitas sosial masih hangat dibicarakan.
Hubungan manusia pada dasarnya dibentuk oleh interaksi yang kompleks, melibatkan bahasa tubuh, nada suara, dan kehadiran emosional yang sering kali tidak sepenuhnya tergantikan oleh komunikasi daring. Namun, platform digital menawarkan alternatif yang praktis dan instan, meski dengan konsekuensi tersembunyi.
Di tengah kehidupan masyarakat yang semakin terdigitalisasi, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana pengaruh aplikasi kencan terhadap keterampilan sosial kaum muda?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas topik ini dengan Fakhirah Inayaturobbani, dosen jurusan Psikologi dari Universitas Gadjah Mada.
Bagi Fakhirah, aplikasi kencan bisa menjadi dua hal: jembatan yang mempertemukan dua orang dari sudut dunia yang berbeda, atau justru jurang yang memperlebar kesenjangan dalam membangun relasi sosial yang sehat.
Ia percaya bahwa di tengah masifnya kehadiran ruang digital, kaum muda tetap perlu mengasah keterampilan sosial mereka lewat pengalaman langsung dan merasakan kehadiran satu sama lain secara nyata. Dunia digital boleh dimanfaatkan, tapi secara bijak dan penuh kesadaran.
Fakhirah mengakui bahwa aplikasi kencan memang menawarkan kenyamanan yang luar biasa. Bagi banyak orang, dating apps menjadi ruang aman untuk menampilkan versi terbaik dari diri mereka sehingga banyak orang merasa lebih percaya diri, lebih terkontrol, dan kadang lebih menarik.
Anonimitas serta kemampuan memilih bagaimana ingin terlihat menjadi daya tarik tersendiri. Tapi di balik itu semua, Fakhirah mengingatkan bahwa batas antara kenyataan dan imajinasi bisa menjadi kabur.
Salah satu hal yang paling ia cemaskan adalah bagaimana aplikasi-aplikasi ini cenderung mendorong komunikasi instan dan serba cepat. Bagi sebagian besar kaum muda, mengekspresikan diri lewat teks atau foto terasa jauh lebih mudah ketimbang harus berhadapan langsung dan menanggapi secara spontan.
Akibatnya, ketika mereka dihadapkan pada situasi sosial yang nyata seperti berinteraksi di depan orang lain, membaca ekspresi wajah, atau merespons emosi, mereka bisa merasa kikuk bahkan kewalahan. Dalam jangka panjang, ini bisa menghambat kemampuan membangun hubungan yang otentik dan penuh makna.
Fakhirah juga menyoroti bagaimana algoritma di balik aplikasi kencan menciptakan ilusi akan kontrol dan kepastian. Segalanya tampak bisa dipilih dan diatur: dari preferensi fisik hingga lokasi. Padahal, dalam kehidupan nyata, relasi manusia jauh lebih kompleks.
Ia menambahkan, komunikasi digital punya harga tersendiri secara emosional. Jeda waktu, kebingungan akan maksud pesan, hingga tidak tahu seperti apa sebenarnya orang yang diajak bicara, bisa membuat seseorang merasa lelah dan tidak aman. Karena itu, penting bagi setiap individu—terutama kaum muda—untuk menyadari bahwa komunikasi virtual dan komunikasi nyata adalah dua hal berbeda, meski tujuannya adalah membangun koneksi.
Meski begitu, Fakhirah tidak setuju jika kaum muda yang menggunakan aplikasi kencan langsung dicap tidak punya keterampilan sosial. Menurutnya, alasan seseorang menggunakan aplikasi sangat beragam. Ada yang tulus mencari teman hidup, ada pula yang sekadar ingin ngobrol ringan untuk mengisi waktu.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.